Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A. Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, mempoerjuangkan hapusnya subsidi pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan keringanan beban-beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau Onrust dan sebagainya.
Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4 kali kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim dipilih menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr. Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan. Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Oleh karena KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. wahid hasyi. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar